Simpang Siur PPN Sembako dan Pendidikan
Trisula.id, (17/6) — Masyarakat Indonesia beberapa hari belakangan dikejutkan dengan rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap komoditas sembako dan jasa pendidikan. PPN sendiri merupakan pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Rencana ini akan dilakukan melalui Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Namun karena hal ini masih dalam perencanaan, belum ada kepastian kapan aturan ini akan diterapkan.
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) melalui surel yang diberikan kepada Kompas, mengatakan bahwa alasan PPN terhadap sembako dan jasa pendidikan adalah untuk memulihkan ekonomi bangsa pascapandemik. “Di tengah situasi pelemahan ekonomi akibat pandemi, pemerintah memandang perlu menyiapkan kerangka kebijakan perpajakan, di antaranya usulan perubahan pengaturan PPN,” jelas Ditjen Pajak kepada Kompas, Minggu (13/6).
Dengan PPN yang akan diberikan kepada sembako dan jasa pendidikan, pemerintah terlihat ingin menggenjot pendapatan negara. Lebih lanjut Ditjen Pajak menjelaskan bahwa RUU yang akan dibahas ini berencana mengenakan tarif PPN yang lebih tinggi daripada tarif normal kepada barang-barang mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat kalangan atas. Hal ini bertujuan untuk kesederhanaan dan kemudahan. Selain itu Ditjen Pajak juga mengatakan bahawa bocornya informasi mengenai RUU KUP ini bukan dari sumber resmi pemerintah.
Salah satu Staf Ahli Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo juga ikut memberikan pendapatnya terhadap simpang siur isu PPN sembako dan jasa pendidikan ini melalui cuitan di akun Twitternya @prastow. Menurut Prastowo, penerapan PPN adalah langkah untuk optimalisasi penerimaan pajak setelah pandemi. Ia menegaskan bahwa pemerintah tentu saja tidak akan membabi buta dan menganggap bahwa RUU KUP ini akan jadi ajang untuk menata ulang sistem agar “PPN kita lebih adil dan fair.”
Pemerintah sendiri mengaku akan mengatur lebih lanjut jenis-jenis sembako apa saja yang akan terkena PPN. Namun sudah ada kepastian bahwa PPN akan ditarik dari bahan pangan kelas premium yang biasanya dikonsumsi oleh kalangan atas. Sembako non-premium yang dibeli di pasar tradisional sudah dipastikan akan terbebas dari PPN menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Neilmaldrin Noor. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Menteri Sri Mulyani yang menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menarik PPN terhadap sembako yang dijual di pasar tradisional. Sembako seperti beras, yang akan dikenai pajak adalah beras premium seperti basmati dan shirataki karena beras ini memiliki harga 5–10 kali lipat dari harga beras lokal.
Selain beras, sembako seperti daging hingga telur juga dipastikan akan dikenakan PPN seperti yang tertuang dalam draft RUU KUP. Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) melalui Ketua Umumnya, Abdullah Mansuri membeberkan daftar barang yang akan dikenakan pajak seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging dan telur. Kemudian susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Pemerintah pun juga berencana memasang PPN dari jasa pendidikan atau sekolah. Diketahui bahwa dalam draft RUU KUP, pemerintah menghapuskan jasa pendidikan dari kategori jasa yang tidak dikenakan PPN. Namun sekali lagi pemerintah menyatakan bahwa tidak semua sekolah atau jasa pendidikan akan dikenakan pajak. Pemerintah hanya akan memajaki sekolah “orang-orang kaya” alias sekolah premium. Neilmadrin Noor menyebutkan bahwa sekolah subsidi maupun sekolah sosial besar kemungkinan tidak akan dikenakan pajak. Kementerian Keuangan sendiri mengaku akan berhati-hati dalam menerapkan pajak terhadap jasa pendidikan dan berjanji PPN yang akan diterapkan tidak membuat masyarakat tidak mampu mengakses pendidikan yang layak.
Walaupun pemerintah sudah berulang kali menegaskan bahwa PPN akan dikenakan hanya kepada barang dan jasa premium, masih banyak kontra yang diberikan oleh masyarakat dari berbagai kalangan terhadap RUU KUP ini. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menyatakan pendapatnya kepada BBC Indonesia bahwa penerapan PPN pada sembako ini justru menunjukkan ketidakadilan. Ia merasa bahwa masyarakat kalangan bawah yang sudah pendapatannya sudah habis dikonsumsi malah harus juga membayar pajak dan ini sangat ia sesali. Selain itu, ia merasa bahwa pajak yang dikenakan ini akan membuat turunnya indeks keyakinan konsumen (IKK) yang saat ini sedang di angka optimistis menurut Survei BI. IKK pada Mei 2021 tercatat berkisar di angka 104,4 poin dimana angka ini sudah melonjak jauh daripada Mei 2020 yang tercatat hanya 77,8 poin.
Komentar bernada sama juga dilontarkan oleh Kusniati, seorang pedagang sembako, kepada BBC Indonesia saat ditemui di pasar tradisional di Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Kusniati mengatakan bahwa sebelum dikenakan pajak saja masyarakat biasa sepertinya sudah “tercekik”, jadi mereka akan sangat menderita jika ke depannya akan dibebankan pajak pada kebutuhan pokok mereka. Ia mengaku bahwa selama pandemi penjualannya bisa turun sampai 50% dan baru pulih akhir-akhir ini sehingga ia berharap PPN sembako ini tidak menjadi masalah baru yang dapat mempengaruhi penjualannya.
Di Senayan, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara meminta agar pemerintah lebih berpikir matang untuk menerapkan RUU KUP. Amir menyebutkan bahwa PPN ini bisa berpotensi untuk menaikkan angka kemiskinan di Indonesia dikarenakan beban rakyat yang bertambah. Walaupun ia mengakui bahwa pendapatan negara adalah pajak yang dikenakan kepada masyarakat, tetapi untuk sektor kebutuhan pokok dan jasa pendidikan, pemerintah harus lebih hati-hati.
Penulis: Jocelyn Allegra Hennschen
Editor: Tenggara Adjie Bramesta, Genta Senapati
Sumber: KOMPAS, BBC Indonesia, CNN Indonesia, OkeZone, CNBC Indonesia, Liputan6