Rape Jokes: Lelucon yang Tak Patut Ditertawakan

Trisula.ID
4 min readJun 19, 2021

--

Ilustrasi rape jokes oleh Jessica Soriano & Kim Ochoada

Trisula.id, Jakarta (15/6) — Lelucon telah menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Entah dari media sosial atau dilontarkan langsung oleh orang di sekitar, lelucon pada umumnya menggelitik perut dan menghibur tiap orang yang membaca atau mendengarnya. Namun, adakalanya kita mendengar lelucon dengan nada merendahkan, melecehkan, dan tidak patut untuk ditertawakan sama sekali. Rape jokes adalah salah satunya.

Rape jokes atau lelucon pemerkosaan adalah lelucon yang menggunakan pemerkosaan atau pelecehan sebagai bahan tertawaan. Lelucon pemerkosaan, secara eksplisit, menormalisasi segala jenis pelecehan dan mengubahnya menjadi guyonan tanpa memikirkan perasaan penyintas yang telah melewati masa-masa sulit. Contoh lelucon pemerkosaan yang sering kita dengar: “Cantik, mau tidur bareng gak?”; “Seru tuh kalau diperkosa!”; dan lelucon dengan nada merendahkan lainnya.

Lelucon pemerkosaan tak datang dari ruang hampa. Komedi dan pemerkosaan memiliki hubungan yang panjang dan kompleks. Pada abad ke-18 di Inggris, lelucon pemerkosaan berkembang pesat ketika undang-undang progresif mengubah status hukum pemerkosaan dari kejahatan properti yang dilakukan oleh pria menjadi penyerangan terhadap tubuh perempuan. Lelucon pemerkosaan membentuk latar belakang reaksioner terhadap medan yang berubah tersebut. Sejak saat itu, lelucon pemerkosaan terus ‘berkembang biak’, bahkan hingga kini.

Langgengnya lelucon pemerkosaan bukan sebuah kebetulan, melainkan buah hasil dari budaya patriarki yang mengakar di masyarakat. Perempuan, pada umumnya, lebih sering menjadi korban lelucon pemerkosaan dibandingkan laki-laki. Seperti pada kasus komedian Amerika Daniel Tosh di tahun 2012 silam, di mana ia membuat lelucon tentang pemerkosaan saat tampil di Laugh Factory. Tosh membalas salah satu ejekan yang mengatakan kepadanya bahwa: “Lelucon pemerkosaan tak pernah lucu!” dengan berkata, “Tidakkah lucu jika gadis itu diperkosa oleh lima orang laki-laki, sekarang juga? Seperti, sekarang juga? Bagaimana jika sekelompok laki-laki memperkosanya?”

Banyak orang yang memprotes lelucon Tosh, tetapi tak sedikit pula yang mendukungnya dengan embel-embel ‘kebebasan berpendapat’. Tindakan memaklumi lelucon pemerkosaan inilah yang membuat eksistensinya terus ada hingga hari ini.

Lelucon pemerkosaan juga berkontribusi terhadap rape culture atau budaya pemerkosaan. Lelucon pemerkosaan terkait dengan perilaku seksis dan kekerasan, juga memperburuk ketidaksetaraan gender dan meningkatkan toleransi terhadap kekerasan berbasis gender.

Ia berada di piramida terbawah dalam budaya pemerkosaan, di mana lelucon pemerkosaan adalah salah satu bentuk normalisasi dari tindak pelecehan sehingga muncul peluang tindakan tersebut terjadi di masyarakat karena hal tersebut sudah dianggap ‘lumrah’ dan menjadi bahan tertawaan.

Piramida rape culture. (Sumber: 11th Principle: Consent!)

Seperti kasus pelecehan seksual yang dialami oleh Nyelaras, yang sempat ramai di jagat Twitter beberapa minggu lalu. Nyelaras menjadi korban pelecehan seksual oleh salah satu penyiar radio dan juga seorang YouTuber, Gofar Hilman. Ia menceritakan kasus yang dialaminya lewat utas yang diunggah di akun Twitter @quweenjojo.

Dalam salah satu cuitannya, ia menceritakan bahwa saat pelecehan tersebut terjadi, banyak laki-laki yang melihat kejadian tersebut, tetapi tidak ada yang menolong. Justru mereka melontarkan lelucon yang merendahkan sambil menertawakan.

“…Kondisinya depan gue rame banget cowok menyaksikan itu cuma teriak “dienakin kok nggak mau?” cuitnya.

Kasus tersebut jadi bukti bagaimana lelucon pemerkosaan yang sering kita dengar dapat memberikan dampak besar bagi tindakan pelecehan seksual. Kultur pemerkosaan terjadi secara sistemik dan lelucon pemerkosaan menjadi salah satu pemicunya. Dalam wawancara bersama Kompas, Program Development Officer dari organisasi Rifka Annisa, Defirentia One Muharomah menuturkan, dampak buruk melumrahkan pemerkosaan dapat menimbulkan beberapa masalah serius, seperti menyelamatkan pelaku dari rasa bersalah, juga menghancurkan kondisi psikologis korban.

“Korban semakin terpojokkan, ia enggan berbicara. Bahkan dalam beberapa kasus, korban tidak langsung melapor karena tekanan psikologis dan dipojokkan oleh rape culture di sekitarnya,” ujar Defi. “Justru kebiasaan kita yang tidak mendukung korban tersebut menyebabkan korban semakin trauma dan menanggung sendiri dampak kekerasan seksual yang dialaminya,” Defi melanjutkan.

Mengatasi Lelucon Pemerkosaan

Lelucon pemerkosaan memang masih sering ditemukan, tetapi bukan berarti tidak ada cara untuk mencoba menghentikannya. Dilansir dari xyonline, biasanya beberapa orang yang melontarkan lelucon pemerkosaan berkelit dengan alasan: (1) hal tersebut hanyalah bercanda, (2) menganggap hal tersebut normal karena seorang publik figur juga membuat lelucon tentang pemerkosaan.

Kita bisa mengedukasi bahwa topik pemerkosaan bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan lelucon, dan jika seorang publik figur membuat lelucon tentang pemerkosaan, bukan berarti hal tersebut adalah hal yang baik dan dapat ditiru. Berusaha mengedukasi diri sendiri dan orang-orang di sekitar jadi salah satu langkah untuk menyetopnya. Tiap langkah yang berani diambil dapat mencegah langgengnya kultur pemerkosaan.

Penulis: Tenggara Adjie Baramesta

Editor: Genta Senapati

Sumber: Rape Jokes Aren’t Funny: The Mainstreaming of Rape Jokes in Contemporary Newspaper Discourse, 11th Principle: Consent!, XY online, The Daily Beast, Kompas

--

--

Trisula.ID

𝗣𝗥𝗢𝗬𝗘𝗞 𝗙𝗜𝗞𝗦𝗜 ― Media daring yang menyajikan tulisan berkualitas bagi pembaca.