Mengenal Fitofarmaka, Obat Tradisional Asli Indonesia

Trisula.ID
4 min readMar 5, 2020

--

Produk Fitofarmaka yang beredar di masyarakat. Foto: Teknonatura

Trisula.id, Jakarta (05/03)ㅡIndonesia memiliki keanekaragaman hayati yang belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Dari sekitar 30 ribu jenis tanaman dan hewan yang berpotensi untuk dijadikan obat, hanya 350 jenis tanaman yang sudah dimanfaatkan. Hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa dewasa ini tren masyarakat dalam memilih jalur pengobatan cenderung untuk kembali ke alam (back to nature), yaitu menggunakan terapi herbal. Obat tradisional (fitofarmaka) dipercaya dapat menjadi obat berbagai jenis penyakit, termasuk dijadikan minuman untuk menjaga kesehatan tubuh.

Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Repulik Indonesia, obat tradisional di Indonesia digolongkan menjadi tiga jenis, yakni jamu, obat herbal terstandar (OHT), dan fitofarmaka. Penggolongan ini dilakukan berdasarkan ada atau tidaknya riset ilmiah yang membuktikan khasiat dan keamanan dari obat tradisional tersebut.

Beforkus pada fitofarmaka, menurut artikel yang dirilis oleh guesehat, fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui tahapan uji praklinis (pada hewan uji) dan uji klinis (pada manusia), serta bahan baku berikut produk jadinya telah distandardisasi. Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa fitofarmaka merupakan obat herbal terstandar (OHT) yang sudah lolos uji pada manusia sehingga dapat dikatakan setara dengan obat kimia modern.

Permintaan masyarakat akan obat yang terjamin mutunya, aman dan murah, kian hari kian meningkat. Untuk itu, BPOM RI mendorong penelitian terhadap tumbuhan obat di dalam negeri.

“Bahan baku obat yang murah hanya bisa didapat di dalam negeri. Kalau bahan bakunya dari luar negeri, harganya mengikuti dolar. Kalau dolar naik, maka harga obatnya juga ikut naik,” kata Direktur Standardisasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM RI, Drs. Tepy Usia, Apt. M.Phil., Ph.D dikutip dari tabloidnyata.

Di sisi lain, seperti yang dilansir dari liputan6, Direktur Dexa Laboratories Bimolecular Sciences PT Dexa Medica, Raymond Tjandrawinata, mengatakan bahwa saat ini di Indonesia memiliki delapan fitofarmaka yang potensinya sama dengan obat kimia. Bahkan obat herbal ini bisa dikatakan tidak memiliki efek samping asalkan sesuai petunjuk.

"Fitofarmaka ini yang agak rumit prosesnya karena melalui uji coba manusia. Risikonya kegagalannya tinggi karena hasilnya dapat mengurangi efikasi dibanding plasebo. Jadi bila parascientist kita berhasil, maka hasilnya sama efektifnya dengan obat kimia," ujarnya, saat ditemui di kawasan Senayan, Jakarta, Rabu (8/3/2017).

Namun disayangkan, fitofarmaka asli Indonesia belum banyak dikenal di negeri sendiri. Dan lagi, belum ada satu pun fitofarmaka yang masuk ke dalam Formularium Nasional (Fornas) serta masuk ke dalam daftar obat ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Tidak ada satupun obat herbal ditanggung. Padahal, pemerintah sangat ingin mengurangi importasi bahan baku obat," kata Raymond.

Selaras dengan pernyataan Raymond, menurut Ketua Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Indonesia (GP Jamu) Charles Saerang, obat tradisional memiliki efek samping yang lebih kecil dibanding obat generik. Karena itu, peruntukannya pun bisa berbeda.

"Kalau berkaitan dengan penyakit paliatif seperti kanker, fitofarmaka sangat membantu. Namun kalau penyakit-penyakit ringan seperti kolesterol, darah tinggi, reumatik, masyarakat cenderung menggunakan obat-obatan kimia," tuturnya seperti yang dilansir oleh media Jurnas saat ditemui di Jakarta (23/9).

Selain itu, fitofarmaka hanya bisa dibatasi oleh empat bahan saja, seperti temulawak dengan sambiloto, temulawak dengan jahe, atau temulawak saja karena penggunaan bahan berlebihan justru bisa membuat efek penyembuhan jadi lebih lambat.

"Jadi sifatnya itu sebagai preventif dan promotif, maka harganya lebih mahal. Beda dengan obat-obat kimia yang lebih murah dan cepat, seperti parasetamol dan aspirin. Namun obat kimia punya efek samping yang perlu diwaspadai," ungkap Charles.

Golongan Fitofarmaka

Hingga saat ini, menurut data registrasi Obat Tradisional Badan POM, tercatat baru 23 produk fitofarmaka Indonesia yang terdaftar, baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan. Saat ini telah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka, yang merupakan sinergi dari beberapa instansi terkait yang diinisiasi oleh Badan POM, yang bertujuan untuk mempercepat pengembangan obat tradisional. Selain itu, dalam waktu dekat BPOM RI akan membentuk konsorsium, dan pengembangan Fitofarmaka. Hal ini bertujuan agar dapat dimasukkan dalam obat-obatan BPJS Kesehatan.

Tepy mengimbau kepada masyarakat untuk tidak ragu-ragu menggunakan herbal, asal sudah terdaftar di BPOM RI.

“Bila ragu buka website BPOM RIwww.pom.go.id, kemudian klik obat tradisional. Lalu tulis nama produk dan nomor registrasinya. Bila tidak muncul, telepon Hallo BPOM di 1500533. Bilang, ‘saya dapat obat produk ini, tapi nggak muncul di website BPOM’. Nanti kami akan turun dan tangkap produsennya,” paparnya.

Perkembangan Terbaru

Perkembangan terbaru terkait obat tradisional jenis fitofarmaka berkaitan dengan berita tentang ditemukannya obat penyembuh kanker dari tanaman bajakah oleh tiga orang siswa di Palangkaraya yang menyimpan harapan besar akan kelanjutan hasil penelitian tersebut. Mereka ingin agar temuan mengenai tumbuhan yang memiliki kandungan antioksidan tinggi dan teruji secara praklinis dapat mereduksi tumor pada hewan percobaan bisa dilanjutkan hingga menjadi obat fitofarmaka.

"Kami berharap bisa diteliti oleh para ahli. Harapan kami akar bajakah sebagai obat fitofarmaka, obat kanker, bisa menjadi solusi bagi kemanusiaan," kata salah satu siswa peneliti tanaman bajakah, Aysa Aurealya Maharani, di Kementerian Kesehatan Jakarta.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Siswanto menjabarkan ada sejumlah tahapan proses pengujian yang perlu dilewati untuk memastikan khasiat tanaman bajakah dan bisa diproduksi menjadi obat fitofarmaka. Uji praklinis untuk obat kanker harus dites dengan dua sel kanker yang berbeda. Bila tanaman bajakah bermanfaat membunuh sel kanker payudara, harus diuji ulang dengan sel kanker lain.

Selanjutnya, tahap pengujian beralih ke hewan, yaitu mencit atau tikus putih kecil yang disuntikkan sel kanker. Apabila pengujian pada hewan berhasil, tahapan selanjutnya dilakukan pada manusia dengan tiga fase yang harus dilalui.

Dalam proses penelitian tanaman herbal mulai dari menguji khasiat hingga produksi secara massal untuk membuat produk obat fitofarmaka membutuhkan waktu yang cukup lama dan dana penelitian yang tidak sedikit. Sama halnya seperti perusahaan farmasi melakukan penelitian dan pengembangan untuk membuat obat jenis baru yang membutuhkan waktu belasan atau bahkan puluhan tahun.

Penulis: Beatarisa Gayatri

Editor: Baskara Adhitama Damarlangit dan Galang Janari Naladhipa

sumber: guesehat, Gatra, liputan6, Tabloid Nyata, Republika, dan Jurnas.

--

--

Trisula.ID
Trisula.ID

Written by Trisula.ID

𝗣𝗥𝗢𝗬𝗘𝗞 𝗙𝗜𝗞𝗦𝗜 ― Media daring yang menyajikan tulisan berkualitas bagi pembaca.