Djenar Maesa Ayu, Ekspresi Diri Perempuan Lewat Tulisan
Trisula.id, Jakarta (31/7) — “Buat apa membahas perempuan lagi, perempuan lagi, perempuan lagi?”
Dikutip dari Whiteboard Journal, salah satu pendapat tersebut dilontarkan oleh beberapa pengikut karya Djenar Maesa Ayu. Sosok sastrawan yang akrab disapa Nai tersebut memang lekat dengan tulisan bertema perempuan dan seksualitas.
Darah seniman mengalir di diri Djenar Maesa Ayu yang lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Ayahnya, Sjumandjaja, adalah sutradara film dan ibunya, Tuti Kirana, adalah aktris terkenal tahun 1970-an.
Nai mulai menggeluti menulis dengan berguru kepada sejumlah sastrawan seperti Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan Sutardji Calzoum Bachri. Karya pertamanya adalah cerpen “Lintah” yang bertema feminisme dan dimuat di Kompas pada 2002.
Karya Nai banyak mendapat kritik dan pujian karena kontroversi. Beberapa cerpen karyanya dimuat di beberapa media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Republika, Koran Tempo, Majalah Cosmopolitan, dan Lampung Post.
Bahkan, buku pertama Nai berupa kumpulan cerpen yang berjudul “Mereka Bilang, Saya Monyet!” (2004) telah dicetak ulang delapan kali dan masuk dalam sepuluh buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003.
Beberapa penghargaan lain untuk karya tulisnya juga pernah diraih oleh Nai, di antaranya:
- Cerpen Terbaik Kompas 2003 untuk cerpen “Waktu Nayla”
- Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan untuk cerpen “Menyusu Ayah”
- Lima besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2004 untuk kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)
Djenar Maesa Ayu terkenal sebagai sastrawan perempuan yang jujur, vulgar, dan jorok. Namun, kejujuran di dalam tulisannya merupakan wujud perlawanan terhadap persoalan tentang perempuan dan seksualitas, yang berusaha disampaikan melalui karya seni.
“Banyak sekali hal yang ditabukan itu sebetulnya hal yang paling penting untuk dibicarakan, salah satunya seks. Ketika seks itu ditabukan, ia tidak terbuka, orang jadi misinformasi, lagi-lagi salah informasi tentang seks sehingga kekerasan seksual terjadi,” jelas Nai seperti dikutip dari Whiteboard Journal (11/10/17).
Salah satu bukunya berjudul “SAIA” yang terdiri dari 14 cerita pendek, sebagian besar menceritakan perempuan yang mengalami kepahitan hidup. Kisah-kisah dalam cerita tersebut menuturkan sisi gelap kehidupan perkotaan dari kemiskinan, seks bebas, hingga ketidakharmonisan rumah tangga.
“Seperti biasanya saya menulis isu soal perempuan,karena saya perempuan. Saya melihat isu kekerasan terus terjadi. Pelecehan pada anak-anak di bawah umur pun masih terjadi,” kata Djenar dalam acara peluncuran buku SAIA, di Jakarta, Selasa (14/1), seperti dikutip dari Antara.
Mengutip Jurnal Perempuan (2014), masalah seksualitas perempuan yang ditutup-tutupi justru menimbulkan kerugian bagi perempuan. Ketika perempuan tidak dibiarkan memiliki kesadaran tentang tubuhnya, maka hal tersebut menjadi celah terjadinya pelecehan seksual. Perempuan dibentuk untuk takut pada seksualitasnya sendiri sehingga mereka kesulitan membedakan apakah yang dialami termasuk pelecehan, perkosaan, kekerasan, dan mana yang tidak termasuk.
Bagi seorang Djenar Maesa Ayu, isu perempuan adalah isu yang penting untuk disuarakan dan diperjuangkan. Dikutip dari wawancaranya bersama Whiteboard Journal (11/10/17), akan sangat merugikan jika hal-hal yang dianggap tabu tidak dibicarakan. Terlebih, banyak kondisi yang memaksa perempuan untuk tidak bicara soal seks.
“… Menurut saya selama itu adalah penting dan harus saya suarakan dan saya masih ingin suarakan, saya tidak peduli, dan selama saya masih hidup sebagai perempuan yang masih tahu persis bahwa sulit sekali untuk menjadi seorang perempuan, banyak sekali kegelisahan, banyak sekali ketidakadilan yang harus diutarakan, saya pasti akan tetap menulis hal itu,” ungkap Nai.
Sumber: Antara, Whiteboard Journal, Jurnal Perempuan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud
Penulis: Seruni Larasati Nirwasita
Editor: Genta Senapati, Tenggara Adjie Baramesta